Apa yang terlintas di pikiran ketika melihat patung Wisnu menunggangi garuda di Universitas Airlangga atau Jendral Sudirman di depan Gedung DPRD Yogyakarta?
Kedua patung dari batu alam itu dikerjakan secara kolektif oleh Sanggar Pelukis Rakjat yang berletak di Sentulrejo, Yogyakarta. Kolektif seni rupa ini digawangi oleh Hendra Gunawan, seniman kelahiran Bandung, Jawa Barat. Mereka bekerja secara komunal. Para seniman muda yang tergabung di dalamnya tinggal seatap, seperti yang nampak dalam ilustrasi.
Setelah keluar dari Seniman Indonesia Muda, Hendra mendirikan sanggar yang menampung banyak seniman muda yang muncul pada masa revolusi. Dari sekian banyak karya Pelukis Rakyat di ruang publik, dua karya di ataslah yang masih dapat dijumpai dengan mudah. Sisanya, semisal relief di tembok Gedung Serikat Buruh Kereta Api atau relief berwarna di Gedung CC PKI musnah setelah tragedi 1965.
Pelukis Rakyat menjadi ruang plural bagi seniman, “ada orang yang islam, ada yang komunis, bahkan ada yang katolik. Maka timbullah pertanyaan yang lebih dalam: apa yang mempersatukan mereka,” tanya Njoto dalam satu tinjauan terhadap kolektif ini dalam Harian Rakjat, 14 Agustus 1954 dengan nama pena Iramani.
Bukan latar belakang kesamaan pekerjaan yang menyatukan mereka, tetapi cita-cita sederhana untuk “mengabdikan kesenian kepada rakyat”. Gagasan berkolektif Pelukis Rakjat, menurut anggota CC PKI ini, “disemen dengan cita-cita dan perjuangan rakyat”. Simpulan Njoto itu mudah saja, karena kolektif ini dengan jelas mengusung slogan “Seni untuk Rakyat”.
Pada 28 Oktober 1955, mereka mengadakan pameran di Jakarta untuk pertama kalinya. Seminggu setelahnya, pelukis Lekra kawakan Henk Ngantung menulis kritik terhadap pameran ini dalam lembar kebudayaan Harian Rakjat. Dalam kritik panjang yang membahas perihal bentuk dan gaya, ia mengatakan bahwa karya-karya mereka kontekstual karena merupakan “hasil usaha kolektif yang melalui proses bertahun-tahun yang tak luput pula dari pelbagai corak dan aliran, yang belum sampai pada penyelesaiannya, berubah-ubah sesuai dengan dinamik zaman yang mau atau tidak juga mempengaruhi kehidupan seni dan seniman Indonesia”.
Henk Ngantung banyak menyorot kekurangan para pelukis kolektif ini, yang masih banyak menampakkan pengaruh Hendra dan Sudarso. Meski masih banyak celah, usaha kolektif yang berafiliasi dengan Lekra ini “pada hakekatnya tidak mengurangi dasar-dasar positif yang ditentukan oleh Pelukis Rakjat dalam usahanya meletakkan sendi-sendi bagi penjelmaan sosialisme Indonesia,” pungkas pelukis yang kelak menjadi Gubernur Jakarta.
Teks: @kelanawisnu
Sumber Ilustrasi: Harian Rakjat, 14 Agustus 1954